“Gotong royong adalah
pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua”.
Demikian
sepenggal ungkapan pidato Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong
sebagai landasan semangat membangun bangsa. Hal itu disampaikannya kepada
seluruh peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Gotong royong bukanlah pameo asing
di negeri ini, sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya
bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan
lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan
tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang
diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.
Namun,
derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret
jauh dari kehidupan masyarakat saat ini, gotong royong menjadi asing untuk
disaksikan keberadaannya saat ini. Kita perlu jujur dan tidak lagi berpura-pura
menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong telah menjadi ‘budaya
langka’. Benarkah demikian?
Untuk
menjawabnya, mari kita awali dengan membahas subjek dari topik ini terlebih
dulu, yaitu manusia. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani mengemukakan
pendapatnya bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri.
Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lainnya guna mewujudkan
keselarasan hubungan antara sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di
dalam setiap diri manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling
membutuhkan satu sama lain. Dari urusan lahir hingga urusan liang lahat,
manusia tidak bisa mengurusnya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah
dari setiap manusia sebagai individu sekaligus mahluk sosial. Dengan demikian,
paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau
menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk
sosial.
Pudarnya Budaya
Gotong Royong
Seiring
berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan Indonesia seolah
terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk di wilayah
pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong menjadi
‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota. Masyarakat
kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan kebersihan atau
satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Sehingga gotong royong seolah
hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan saja, sedangkan masyarakat kota
tidak perlu lagi menerapkannya.
Salah
satu sebabnya adalah adanya miskonsepsi dari sebuah istilah populer
“modernisasi”. Istilah modernisasi sepatutnya membantu tercapainya tujuan
bersama, bukan melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego
sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual
dan gengsi (red: posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah
terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan
membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis
mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.
Manusia
yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup
bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang
kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar
Kayam di majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987:
Bahwa sejak manusia
bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa
tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih
menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada
waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap
yang lain.
Hal
tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan
keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang
sering terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa
untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain,
atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada
masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.
Namun
pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang menyerukan pesan cinta damai, tapi
yang terjadi justru “perang” semakin ramai. Mengapa terjadi hal yang demikian?
Bukankah setiap agama di dunia mengajarkan perdamaian? Tapi kenapa pertikaian
atau konflik berujung tindak kekerasan begitu mudah ditemui, bahkan semakin
ironis ketika agama justru menjadi salah satu pemicunya. Seperti apa yang pernah
terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di
Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional.
Sekali
lagi, kenyataan membuktikan bahwa hari ini telah terjadi kebekuan spiritual
yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan
spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya kekerasan akan
senantiasa mewarnai hidup dan kehidupan manusia seterusnya. Hal itu akan terus
terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang menyampaikan kebenaran versi
golongannya masing-masing, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga friksi
berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika
hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang katanya “mahluk
sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah Tuhan menciptakan
manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling
mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para pakar untuk
menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar antropologi, Koentjaraningrat.
Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor pemicu konflik adalah
adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok masyarakat tertentu
terhadap kelompok masyarakat lainnya. Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi
karena adanya pola pikir sempit atau “fanatisme buta” para penganutnya yang
menjadikan mereka lupa memaknai istilah “mahluk sosial”.
Terbentuknya
pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era digital atau teknologi informasi
saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan untuk turut membidani lahirnya
pola pikir tersebut. Yasraf Amir Piliang, di dalam bukunya yang berjudul Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan
Digital, menuliskan bahwa setidaknya ada tiga tingkat yang mengubah cara
kita melihat manusia sebagai mahluk sosial, bahkan cara kita memaknai istilah “sosial”.
Pertama, pada tingkat
individu, teknologi informasi telah mengubah pemahaman kita tentang identitas.
Media komunikasi yang dijembatani oleh komputer telah melenyapkan batas-batas
identitas. Di dalamnya setiap orang bisa menjadi orang lain, atau seakan-akan menjadi beberapa
orang yang berbeda pada waktu bersamaan. Kekacauan identitas tersebut akan
mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang.
Singkatnya, teknologi informasi yang telah membidani lahirnya dunia maya, rentan
menjadi dunia yang anonim (tanpa identitas). Dan pada tingkat individu, media komunikasi
dalam era teknologi informasi dapat menciptakan satu ketergantungan. Ia dapat
menjadi semacam “candu” yang dapat menciptakan “kecanduan komunikasi”, sehingga
orang dapat berjam-jam duduk di belakang komputer, hanyut di dalam dunia maya
internet.
Kedua, pada tingkat
“interaksi antar-individual” atau “interaksi sosial”. Interaksi sosial di dunia
maya cenderung tidak dilakukan di dalam sebuah ruang teritorial (tempat) yang
nyata (dalam pengertian konvensional), akan tetapi terjadi dalam sebuah halusinasi teritorial. Di dalam halusinasi teritorial tersebut, orang
boleh jadi lebih mengenal seorang teman dekatnya di internet yang tinggalnya
ribuan kilometer, ketimbang tetangga dekatnya sendiri. Bahkan, boleh jadi ia
lebih mengenal “saudara”-nya di internet ketimbang “saudara” kandungnya sendiri.
Ketiga, pada tingkat
“komunitas virtual”. Perbedaan mendasar antara komunitas tradisional dan
komunitas virtual adalah bahwa pada komunitas tradisional atau masyarakat pada
umumnya memiliki konvensi (kesepakatan) sosial atau aturan/hukum seperti hukum
adat, memiliki lembaga hukum (yudikatif), serta memiliki pemimpin. Sedangkan
pada komunitas virtual, pemimpin, aturan main dan kontrol sosial yang demikian boleh
dikatakan tidak ada. Setiap orang seakan menjadi pemimpin, pengontrol, dan
penilai dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian berkembang menjadikan
komunitas virtual rentan melahirkan masyarakat “anarkis”, karena di dalamnya
“apa pun boleh”. Tidak ada batasan hukum, tidak ada batasan moral, bahkan tidak
ada batasan sama sekali. Dengan demikian, komunitas ini dianggap sangat rapuh, bahkan
berpotensi untuk memicu suasana chaos (tidak
teratur).
Konsekuensi Massal
Jika Gotong Royong Ditinggalkan
Memudarnya nilai gotong royong dapat terjadi
apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela,
bahkan hanya
dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam
bentuk keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin
menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan
membayar dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat
ini telah
menjadikan nilai-nilai kebersamaan yang luhur semakin luntur
dan tidak lagi bernilai.
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, tentu kita bisa memprediksi
apa yang akan terjadi jika gotong royong semakin tersingkirkan,
digantikan nilai-nilai
individualisme yang
lahir dari perkawinan antara kapitalisme dan neoliberalisme.
Apa yang terjadi kemudian adalah semakin mudahnya
bangsa ini dipecah-belah, dikotak-kotakan,
dan diadu-domba oleh pihak asing yang tentu akan
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Imbasnya, warna merah
putih yang sejatinya identitas kita akan terancam pudar, seiring dengan
pudarnya semangat gotong royong itu sendiri.
Senada
dengan hal tersebut, Djuyoto Suntani telah menuangkan gagasannya dalam buku
berjudul Tahun 2015, Indonesia “Pecah”. Menurutnya,
Indonesia kini juga sedang digarap untuk dipecah-pecah menjadi sekitar 17
negara bagian oleh kekuatan kelompok kapitalisme dan neoliberalisme, yang
berakar pada paham sekularisme. Sebabnya adalah tidak ada figur atau tokoh
pemersatu yang berperan menjadi Bapak Seluruh Bangsa, pertengkaran sesama anak
bangsa yang terus terjadi di tengah upaya strategis dari konspirasi global, dan
adanya nama Indonesia yang bukan asli dari Nusantara.
Untuk
itu diperlukan sebuah konsepsi yang mampu mengatasi kebekuan spiritual dan
amnesia kolektif akan jati diri bangsa yang sebenarnya di tengah ancaman
perpecahan bangsa. Konsepsi yang tidak boleh berakhir pada level wacana, sehingga
perlu upaya aktualisasi yang tidak melanggar konstitusi. Singkatnya, konsepsi
yang harus kembali dianut adalah ideologi yang telah menjadi konvensi nasional para
pendiri bangsa ini. Tak lain konsepsi yang dimaksud adalah Pancasila. Olehnya
itu, upaya reinterpretasi, reinternalisasi, serta reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila menjadi relevan adanya di tengah anomali kehidupan sosial saat ini.
Gotong Royong Dalam
Pancasila
Di
tengah segala perbedaan yang ada, kita patut bersyukur bisa disatukan dalam
konsep Indonesia yang menganut Pancasila sebagai pedoman dasarnya. Mengacu pada
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita perlu menyadari akan anugerah yang
diberikanNya, sebab atas nama Tuhan Yang Maha Esa kita bisa disatukan untuk
bisa menuju Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan cara
bergotong royong. Dengan demikian, hubungan antara Gotong Royong dengan Pancasila
sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak boleh dipisahkan.
Hal
inilah yang menjadi dasar pemikiran Soekarno perihal cita-citanya untuk
mewujudkan sebuah bangsa yang menjadikan gotong royong sebagai jati dirinya.
Sebagaimana amanat beliau menjelang lahirnya bangsa Indonesia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga
menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!”, tegasnya di depan peserta sidang BPUPKI, 1 Juni
1945.
Adanya
persamaan beban yang dirasakan bersama-sama adalah embrio
sifat solidaritas yang
akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan antara sesama
anak bangsa. Beratnya beban yang dipikul tidak akan lagi terasa berat ketika
diselesaikan secara gotong royong. Alhasil,
permasalahan dan seberat dan sesulit apapun pasti akan mampu diselesaikan
dengan cara ini. Kekuatan inilah yang pernah menjadikan
bangsa Nusantara sebagai
bangsa yang disegani oleh bangsa lain, terutama
pada masa
Sriwijaya dan Majapahit.
Gotong royong adalah sebuah sarana untuk
mempersatukan berbagai macam perbedaan. Karena memang persatuan dan kesatuan
adalah syarat utama
yang menentukan kuat atau tidaknya sebuah bangsa mampu bertahan dalam
percaturan bangsa-bangsa di dunia, yang juga menentukan apakah bangsa Indonesia
mampu berada di atas segala bangsa atau tidak.
Berbagai macam perbedaan yang ada pada teritorial suatu bangsa sepatutnya
dapat disatukan melalui penyatuan visi dan misi yang berlandaskan
kebenaran universal, dan hal tersebut sudah menjadi komposisi utama Pancasila. (rnd, rnt)