Dunia cyber atau cyberspace adalah ruang komunikasi yang saat ini populer digunakan untuk memudahkan berbagai kegiatan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan, serta semua kegiatan lain yang memiliki tujuan baik. Namun, kemudahan untuk mengkomunikasikan bermacam kegiatan tersebut secara global tidak hanya berlaku untuk tujuan baik saja. Semudah para politikus menyebarkan pengaruhnya, semudah itu pula berbagai kepentingan jahat dapat dilakukan di ruang ini di bawah naungan bendera demokrasi dalam wujud ‘kebebasan berpendapat’.
Menjamurnya kepentingan-kepentingan jahat ini semakin dimudahkan oleh sifat dunia cyber yang anonim, yaitu sebuah dunia tanpa identitas, tanpa jejak, tanpa alamat, atau tanpa tanda pengenal. Maka sesungguhnya, pihak yang paling diuntungkan dalam ruang tanpa identitas tersebut adalah para penjahat, karena mereka menemukan tempat yang paling aman untuk mengumbar aksi.
Alhasil, ruang ini menjadi rentan terhadap tindak kekerasan berupa ‘perusakan tanda’ (cyber
semiotic violence). Sehingga menjadi sangat mungkin jika yang sering ditampilkan di dunia cyber adalah distorsi kebenaran, penyimpangan informasi, pemutarbalikkan fakta, penyebarluasan kebohongan, serta perusakan simbol di situs-situs yang ada dalam wujud cibiran, cacian, makian atau apapun yang tumbuh dari bibit kebencian. Kekerasan seperti inilah yang menjadikan sebuah informasi tidak lagi memiliki makna.
Kekerasan Lintas Ruang
Disadari atau tidak, masyarakat di dunia cyber kini telah terbentuk menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kekerasan. Informasi seputar skandal seks, tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, demonstrasi anarkis, hujat menghujat, saling menghina dan sejenisnya perlahan-lahan menjadi konsumsi harian mereka. Sesuai hukum alam pada tubuh manusia bahwa “apa yang dikonsumsi, itulah yang dikeluarkan”. Maka dampak yang terjadi tentu dengan mudah kita tebak.
Dampak terbesar tentu akan terjadi pada anak-anak. Segala bentuk kekerasan tersebut kini telah diselipkan dalam berbagai media seperti komik, majalah, televisi, video game, game on-line, film dan mainan. Pada akhirnya, dunia kekerasan akan menjadi dunia mereka. Sebab, segala bentuk kekerasan tersebut akan mengonstruksi secara sosial pada kehidupan mereka di masa depan. Maka, tatkala kita terus membiarkan fenomena ini berlangsung, apa yang terjadi di masa depan akan jauh lebih mengerikan daripada saat ini.
Kekerasan yang terjadi di dunia cyber adalah cerminan dari realitas kehidupan masyarakat di dalamnya. Ibarat dua sisi mata uang, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Hukum sebab akibat tetap menjadi penguasa kedua dunia tersebut. Kekerasan yang terjadi dalam dunia cyber adalah buah dari kekerasan yang terjadi dalam dunia realita. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya, simulasi kekerasan di dunia cyber akan menjadi pemicu kekerasan di dalam tatanan kehidupan sosial yang sebenarnya.
Kemunculan berbagai aksi kekerasan terjadi akibat ulah para penjahat cyber yang dengan leluasa menjalankan aksinya tanpa terdeteksi identitasnya. Namun kita harus mengakui dengan jujur, bahwa sebenarnya keberadaan mereka begitu nyata, kenapa? Tentu, hal ini terindikasi dari akibat nyata ulah mereka, yaitu munculnya budaya kekerasan yang telah menembus lintas ruang atau dimensi.
Budaya kekerasan yang mampu menembus batas ruang maya menuju realita tentu terjadi karena ada sebuah kekuatan. Sesungguhnya kekuatan yang telah membentuk budaya kekerasan di dalam ruang cyber berasal dari tidak adanya perasaan berdosa, takut, kasihan, peduli dan cinta terhadap sesama manusia. Kenapa hal itu bisa terjadi? Sebagaimana sifat dunia cyber yang anonim, maka para pelaku merasa tidak berada di bawah pengawasan siapapun. Bahkan mereka menolak kehadiran Tuhan di dalam dunia cyber. Lebih buruk lagi, mereka merasa sebagai Tuhan karena merasa mampu berkuasa di dalam dunia cyber ciptaan mereka sendiri.
Fenomena tersebut tidak dapat kita sangkal lagi keberadaannya. Kekerasan di dalam dunia cyber tentu berdampak nyata bagi mereka yang peduli terhadap sesamanya. Mereka yang peduli adalah manusia yang ingin memanusiakan manusia, bukan manusia yang menjelma menjadi ‘iblis’ sang penggoda yang senantiasa berbisik kepada manusia untuk bertindak anarkis dalam segala aspek serta menolak kehadiran Tuhan di dalam dunia cyber.
Maka berbahagialah bagi mereka yang masih memiliki kepedulian terhadap manusia dan mau berjuang untuk melawan kekerasan tanpa kekerasan, sehingga menjelma sebagai ‘malaikat’ yang senantiasa mengajak manusia pada kebaikan dan kebenaran. Merugilah bagi mereka yang dengan atau tanpa sadar merasa bangga menyandang predikat ‘iblis’.
(oleh: Resi Randhi Mahardhika)
Tulisan ini dalam rangka mengikuti Lomba Penulisan ‘Stop Cyberbully’ di Kompasiana dan